Sunday 3 July 2011

Ketika lo sampe berenti nyetir untuk ngepost sesuatu, you know that bothers me so much eh?

Ada anak SMA ketolak SR, baca dari @ITweetB. Dia nulis panjang perkara ketidakadilan. Now, I respect you dek,
But let's talk injustice.

Impian saya masuk sipil itu dari lulus SD. Saya melihat meja tempat bapak ibu saya menaruh pekerjaan mereka, dan saya berkata, 'Saya mau sibuk itu'.

Saya ingin ITB juga sudah sejak SD, sampai mungkin terlihat seperti obsesi. Yang tidak banyak orang tahu adalah, saya lebih ingin Teknik Sipil daripada ITB. SMP saya, SMA saya, saya pilih agar bisa berentet mengantarkan saya ke Teknik Sipil, ITB.

Saya sampai ikut bimbel. Temui saya ketika SMP, atau kelas X, kelas XI, Anda akan menemukan saya yang sangat melecehkan bimbel. Kelas XII, saya sebegitu menginginkan Teknik Sipil ITBnya, sampai saya menjilat keangkuhan saya sendiri.

Ternyata, saya berhasil masuk FTSL.

Saya yg sudah ditolak masuk SMA 8, dan merasa bahwa ini adalah pertanda saya tidak bisa masuk ITB, karena kenaifan saya dalam membaca statistik, ternyata berhasil masuk ITB.
Salahkah saya jika mengira bahwa rencana saya kali ini sejalan dengan rencana Tuhan?

Ternyata salah. Saya terlalu naif.
Saya ditolak sipil. Yap, impian saya hancur.

Mana part 'ga adil' nya? Itu kan wajar, tidak semua mimpi dikabulkan.

Here goes the injustice.

Sistem di ITB angkatan saya adalah Anda harus menjalani TPB dulu, baru hasil dari TPB tersebut menentukan ke jurusan mana Anda diterima.

TPB mempelajari semuanya. Idenya adalah penyamarataan standar ilmu lulusan ITB. Anda bisa menjadi apa saja dalam dunia perteknikan, tidak hanya terpatok oleh jurusan Anda.

Jadilah selama TPB saya mempelajari Fisika Dasar, Kalkulus, Kimia Dasar, Teknik Presentasi, Tata Tulis Karya Ilmiah, dkk.

Dimana tidak adilnya? Tidak adil adalah, diterima/tidaknya saya di Sipil, ditentukan oleh nilai Kimia saya yg toh tidak akan saya dapat di Sipil kelak.

Menurut hemat saya, yang perlu dilakukan bukanlah penyamaan standar satu ITB. Untuk apa anak Elektro atau Mesin, Planologi atau Aeronautika dapat Kimia? Itu terlalu muluk! ITB berpikir, alangkah baiknya jika Sarjana Teknik Sipil ITB juga mengerti bidang Teknik Kimia, agar kita terbiasa think out of the box.
Sekarang yang jadi pertanyaannya, jika keanekaragaman ini yang jadi syarat penerimaan di jurusan yang sebenarnya sangat spesifik, apakah standar spesifikasinya terjamin?

Jika bahasa saya terlalu berbelit, ijinkan saya menyingkatnya dengan agak (maaf) lugas.
Orang-orang yg masuk Sipil karena keangkat nilai Kimia nya yg 3 SKS dapet A itu, yakin ga logika Rekayasa Struktur nya dapet? Sama sekali gaada maksut pointing fingers apalagi ngeremehin temen-temen seperjuangan gue sendiri yg dapet, tp with all due respect, ITB tuh mau dapet lulusan yang kayak gimana?

Ibarat kata, lo mau apply kerja jadi dokter, yg jadi syarat lumayan pentingnya adalah keahlian Geografi. Kan ga nyambung.

Bolak balik Ibu saya mengeluhkan lulusan ITB yang merasa mengerti segalanya, siap mengikuti perkembangan dunia, merasa mampu beradaptasi dengan medan pekerjaan apapun. Tetapi, buka ETABS saja, boro-boro tau cara ngetes seberapa 'muntir' struktur tersebut akibat gaya dari luar, cara nge-plot saja tidak tahu.

Mau sampai kapan lulusan ITB dikenal sebagai lulusan yang diterima karena numpang nama dan sontak langsung minta gaji besar, tanpa hasil kerja yang setimpal?

Saya setuju jika standar satu fakultas disamakan, karena "harusnya" fakultas-fakultas itu digolongkan berdasarkan kemiripan materi, hanya aplikasinya saja yang berbeda tapi tetap saling menyokong. Hal ini berlanjut kepada pertanyaan saya selanjutnya, mengapa Teknik Lingkungan dianggap segolongan dengan Teknik Kelautan sehingga digabung dalam satu fakultas?

Kata Infrastruktur tidak cukup mengikat ketiganya! Infrastruktur macam apa sih yang direkayasa oleh para lulusan Teknik Lingkungan? Yang ramah lingkungan? Yang memanfaatkan alam tetapi juga menguntungkan alam sekaligus? Yang menyokong kinerja lingkungan?

Kalo di PRI bolak balik dibilang engineer harus take an oath bahwa semua pekerjaannya tidak boleh merugikan lingkungan, ya apa spesialnya dong terus si TL ini?

Dan realistis ga sih, infrastruktur eco friendly? Oke gue tau udah ada, but let's just be realistic, berapa banyak sih pengusaha yg nengok? Dimana-mana, yang ideal itu, daerah industri dengan segala sarana maupun prasarana ngumpul disatu tempat, lingkungan di tempat laen. Ga terjamah.

Jadi apasih infrastruktur produk teknik lingkungan itu? Jalan raya berhumus yang dapat meresap air kah? Call me naïve atau bahkan sotoy, tapi kok saya merasa bidang ini agak hipokrit ya.

Kembali ke penyamarataan standar. Jika tidak mau dilakukan per fakultas, ya pastikanlah bahwa yang akan diajarkan memang diperlukan dan akan diajarkan lebih lanjut di jurusan kelak. Sebagai contoh, saya setuju jika semua matrikulan diberikan materi kalkulus, teknik presentasi atau membaca atau menulis, tata tulis karya ilmiah, karena ya memang kedepannya itu penting bagi kami.

Tetapi jika SF dan SITH dapat Fisika dan kami dapat Kimia, itu sudah terlalu jauh.

Anda mengerti bahwa kebutuhan Kalkulus FTSL, SAPPK, dan SF berbeda. Itu sebabnya Anda memberikan Kalkulus A, B, dan C. Sesulit itukah bagi Anda untuk mengerti bahwa kami tidak butuh Kimia? Jika Anda ingin menyamaratakan standar, jangan berikan kami Kimia, perlakukan kami sama rata! Beri kami semua se ITB mutu kalkulus yang sama! Kan konyol, anak Sipil dituntut punya ilmu kimia yg sama dg anak Hayati, tapi kalo ngomongin Kalkulus ga nyambung. Padahal katanya kita Institut Teknologi, masak kemampuan Kalkulusnya beda-beda?

Dan tahun ini ITB menerima murni dari SNMPTN. Bahkan dari undangan, rapot. Gaada TPA/TBS, gaada psikotes, haduh. Ga ngerti lagi.

Ada yang kurang dari gelar lulusan ITB. Harusnya ga cuma Sarjana Teknik, tapi Sarjana TEORI Teknik.

Bapak Ibu yang dapat menentukan masa depan ITB, tolonglah. Kembalikan mutu lulusan Anda. Dunia tidak membutuhkan Sarjana Teknik Sipil yang bisa nyambi jadi Sarjana Teknik Industri atau sebaliknya, dunia butuh Sarjana Teknik Sipil yang menguasai bidangnya tanpa setengah-setengah, yang dapat menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan Sarjana Teknik Industri yang menguasai bidangnya tanpa setengah-setengah.

Tidak usah muluk-muluk lah Pak, Bu. Kami tidak butuh dua kualitas dalam satu badan. Otaknya akan lebih cepat penuh daripada dua badan dengan kualitas masing masing yang berjalan bergandengan.

0 comments:

Post a Comment